Jumat26 April 2024

Rekomendasi

REALITAS VIRTUAL DAN CYBERCRIME

Ariyandi Batu Bara, S. Ud., M. Ud
Ariyandi Batu Bara, S. Ud., M. Ud

Oleh: Ariyandi Batu Bara, S. Ud., M. Ud

Siber atau dunia maya dapat dikatakan sebagai realitas virtual yang bersifat hybrid (buatan) dan bekerja pada level representasi atau pencitraan (Demartoto, t.th : 33). Ruang siber (cyberspace) adalah ruang dimana komunitas saling terhubung menggunakan jaringan (misalnya internet) untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari. (www.kemenhan.go.id).

Aksiologi (tujuan moral) dari perkembangan internet ditujukan untuk hal-hal positif yang dapat membangun peradaban manusia menjadi lebih baik, misalnya: (1) Memudahkan manusia untuk memperoleh informasi; (2) Percepatan urusan manusia di tingkat nasional dan internasional; (httP://repository.umy.ac.id). (3) Menghilangkan kendala ruang/jarak interaksi manusia; (4) Menghemat energy, biaya, dan tenaga manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Namun demikian, fakta sosial di lapangan, internet digunakan untuk tujuan yang sebaliknya (negatif), seperti: spionase, penipuan, hecking, provokasi, pornografi, perjudian, dan pembajakan hak

Problematika di atas semakin menegaskan bahwa: sebagaimana halnya di dalam ruang realitas (dunia nyata), di dalam ruang virtual (dunia maya) pun, acapkali terjadi konflik dan bahkan konflik tersebut terjadi dalam berbagai bentuknya. Misalnya jika merujuk kepada data POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) sebagaimana dikutip oleh FISIP UI dalam satu artikel yang dimuat di internet menyebutkan bahwa: “Menurut data dari POLRI, bulan April 2020 sampai di bulan ini, setidaknya ada 937 kasus yang dilaporkan. Dari 937 kasus tersebut ada tiga kasus dengan angka tertinggi yaitu kasus provocative, hate content and hate speech yang paling banyak dilaporkan, sekitar 473 kasus. Kemudian disusul oleh penipuan online dengan 259 kasus dan konten porno dengan 82 kasus.” (https://fisip.ui.ac.id).

Tiga kasus di atas merupakan fakta sosial yang melanda Negara RI. Oleh sebab itulah kemudian mendorong kegelisahan akademik penulis untuk menyusun tulisan ini. Dalam rangka memberikan sumbangan pemikiran atas objek tersebut melalui perspektif keilmuan penulis yaitu sebagai seorang sarjana filsafat.

Apa itu siber dan cybercrime?

Siber secara etimologis merupakan serapan dari bahasa Inggris “cyber” kata “siber” itu sendiri dapat diartikan sebabgai “dunia maya.” Realitas virtual dalam konteks sosiologis-filosofis, dapat disebut sebagai simulacrum. Simulakrum adalah meruahnya bangunan dan model yang diadakan dan disajikan kepada publik di berbagai tempat di dunia dibuat, menurut Jean Baudrillard, sebagai hasil dari kebutuhan tak terkendali untuk menghasilkan imitasi demi kenikmatan massa belaka.

Pemikiran Baudrillard di atas, membuat penulis bisa menerima logika sederha; wajar jika realitas virtual akan sangat rentan menjadi sarana untuk disalahgunakan oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Hal ini disebabkan, karena realitas virtual sedari awal memang tidak menampilkan realitas, melainkan menampilkan diatasnya realitas (hyper reality). Dengan kata lain, dunia virtual sebenarnya sedari awal dimulai dengan “ketidakjujuran.”

Sialnya, konflik yang terjadi di dunia realitas vitual, tetap saja berlanjut kepada dunia realitas (kenyataan). Sehingga ada konsekuensi hukum yang akan ditanggung oleh manusia immoral yang mencoba mengambil kesempatan di dunia maya untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain baik dalam konteks moral bahkan hukum positif.

Beberapa kejahatan siber yang terjadi antara lain mengambil bentuk sebagai berikut: (1) Penipuan: (2) Cyberterrorisme; (3) Cyberextortion (Hacker); (4) Cyberwarfare; (4) Komputer sebagai target (virus, malware); (5) Komputer sebagai alat (pornografi, pencurian identitas); (6) Pelecehan; (7) Cyberattacks: situs anonym dengan tujuan membully atau menyerang akun lain; dan (8) Serangan semantic (baca: hoaks) (Gani, t.th : 17-18).

Solusi atas kejahatan siber

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga manusia terhindar menjadi korban kejahatan siber, maka ada tiga langkah yang penulis tawarkan melalui kesempatan ini, yaitu: langkah preventif, responsive, dan langkah kuratif.

Langkah preventif, adalah upaya mencegah. Dalam artian, sebelum manusia menjadi korban cybercrime, maka ada upaya pencegahan yang bisa dilakukan yaitu melalui: memperbanyak literasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang apa itu dunia digital dengan segala konsekuensinya, baik positif maupun negatif. Upaya ini bisa dilakukan dalam bentuk webinar dan sebagainya.

Langkah responsive adalah upaya untuk merespon secara proporsional atas tindakan kejahatan siber yang telah terlanjur terjadi atau hadir ke ruang public. Korban perlu untuk merespon seperlunya tanpa berlebihan. Misalnya dengan melakukan cek fakta, kemudian melakukan klarifikasi antar kedua belah pihak jika dimungkinkan.

Langkah terakhir, yaitu langkah kuratif. Merupakan upaya yang paling akhir, yaitu dengan mengambil langkah-langkah hukum jika tidak menemukan solusi yang terbaik. Hukum dapat menjadi solutor ketika jalan buntu dihadapi untuk mencari ruang damai antara kedua belah pihak, baik dari sisi korban maupun pelaku. Untuk itulah kemudian UU ITE misalnya dirumuskan dan diterapkan di Indonesia dengan penerapan yang bijaksana dan seadil-adilnya tentunya. (*)

 




Komentar Facebook


Berita Terkait